Sabtu, 07 Mei 2011

SUP INDONESIA

Ketika hukum berbicara soal keadilan
Koin Prita menjadi lambang keadilan
Ketika hukum ditegakkan secara diskriminasi
Gayus wara wiri penjara

Ketika hukum mulai diperdagangkan
Mafia kasus bertebaran dimana-dimana
Ketika moral sebatas ilusi
Ariel Peterporn muncul bagai kaktus Indonesia

Ketika Alam mulai murka
Merapi mulai memberangus
Ketika kau sumbat sungaiku dengan sampah membelenggu masyarakat
Banjir mulai menghantam Indonesia.

AFF membuat Indonesia tersenyum
Irfan Bachdim, Gonzales,dan oktovianus maniani menjadi sup jagung manis Indonesia
Pengobat dahaga Indonesia
Disaat kondisi Indonesia sedang corat marut.

Ya Allah
Berikan Indonesia sebuah hidup yang hakiki
Tidak ada lagi kesedihan
Tidak ada tangisan di Indonesia
Aku tak ingin ada kesedihan lagi di Indonesia

Garuda terbanglah ke langit biru
Bawalah senyuman bagi Indonesia
Kedamaian dan kesejukan bagi Indonesia
Bersama angin-angin sejuk
Serbarkan kado bagi Indonesia.

Macan Kertas: Badai Pers Indonesia Di Zaman Reformasi

                 Istilah pers berasal dari bahasa Belanda, yang berarti dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak, dan secara maknafiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (Effendy,1994). Pers adalah suatu lembaga sosial serta alat komunikasi massa yang menjalankan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. Kegiatan jurnalistik tidak hanya terbatas pada media cetak maupun media elektronik tetapi juga telah merambah ke berbagai medium infromasi seperti internet. Pers juga dapat berarti sebagai lembaga sosial (social institution) atau lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari sistem pemerintahan di negara dimana ia beropreasi, bersama-sama dengan subsistem lainnya.
Jika ditinjau dari sistem, pers merupakan sistem terbuka probabilistik. Menurut Fres S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm dalam sebuah bukunya “Four Theories of the Press. Fres S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm menggolongkan pers kedalam 4 golongan, antara lain:
  1. Authorian press
  2. Libertarian press
  3. Soviet communist press
  4. Social responsibility press
                  Di Indonesia, Pres mulai mengumandangkan kemerdekaannya sejak berguling rezim orde baru. Kemerdekaan pers tersebut tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Sejak bergulingnya rezim orde baru, Pers bebas mendirikan Media Masa tanpa harus izin dari pihak pemerintahan serta wartawan bebeas menulis berita. Tindakan tersebut menimbulkan terhadap insan pers semakin menghilang. Pemerintah sudah tidak lagi melindungi insan pers karena seringkali pemerintah menjadi korban berita.
Dahulu, profesi sebagai wartawan begitu membanggakan dan disegani. Kenyataan nya sekarang kondisi profesi wartawan berbanding terbalik dengan keadaan pers dahulu. Profesi wartawan tak lebih beda dari seorang pemulung. Insan pers sering di usir, di bentak, di pukul, di tempeleng serta dibunuh. Sungguh tragis dan memalukan hal tersebut sampai terjadi pada para wartawan yang ada di Indonesia. Kekerasan terhadap insan pers menjadi badai tersendiri buat insan pers di zaman reformasi ini.
                     Kekerasan terhadap insan pers sudah memasuki ranah hukum. Banyak kasus kekerasan yang terjadi terhadap insan pers.” Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat terjadinya 220 kasus kekerasan terhadap pekerja pers dan 6 diantaranya tewas terjadi dalam 10 tahun era reformasi 1998-2008. Dan sepanjang Mei 2008 sampai Mei 2009 tercatat 44 kasus kekerasan terhadap jurnalis,kekersan tersebut terdiri dari kekerasan fisik dan non fisik”.(www.kompas.com pada 5 Maret 2011). Pada bulan Febuari 2011,kekerasan terhadap insan pers kembali terjadi. “Pemukulan jurnalis Global TV yang hendak meliputi di depan rumah pentolan grup band Dewa 19,Ahmad Dhani oleh beberapa pemuda pada pukul 20.00, Senin 28 Februari 2011 dan  hal yang sama juga menimpa terhadap jurnalis Metro TV dan Harian Media Alkairaat Palu , Subandi Arya, yang akhirnya mengakibatkan harus dilarikan ke Rumah Sakit Poso, Senin (28/2/2011) malam, untuk mendapat perawatan medis setelah dikeroyok sekitar 20 mahasiswa Universitas Sintuvu Maroso (Unsimar) Poso”.(www.tribunnews.com pada 1 Maret 2011)
             Aksi-aksi kekerasan terhadap pers tentu patut kita sesalkan. Lewat pers pula, kita bisa mengetahui berbagai peristiwa dan isu mutakhir. Fungsi pendidikan yang diemban insan pers telah banyak memberi kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan wacana kritis masyarakat.
            Namun, kekerasan terhadap pers yang berulang-ulang terjadi -terutama karena pemberitaan wartawan yang mengungkap tabir “kejahatan” pesohor dan pejabat daerah maupun nasional- mengindikasikan kalau negeri ini hanya setengah-setengah memberikan perlindungan terhadap wartawan untuk menyuarakan kebenaran pada masyarakat. Fenomena itu menggambarkan bahwa sebenarnya, kebebasan pers yang dibuka sejak reformasi bergulir hanya berlaku untuk berita yang “aman-aman” saja. Seperti Pernyataan Sekretaris Kabinet, Dipo Alam, tentang rencana menginstruksikan jajaran pemerintah untuk tidak memasang iklan di media-media yang menjelek-jelekan pemerintah. 
“Tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam kode etik wartawan harus benar-benar dijalankan, tidak hanya dijadikan “macan kertas” yang harus mengalah demi kepentingan pragmatis. Inilah makna hakiki kebebasan pers”. (www.radarbanten.com pada 5 Maret 2011).
            Menurut Direktur Eksekutif LBH Pers Hendrayana, S.H dalam siaran persnya , Selasa (1/03/2011) apa yang telah dialami oleh Subandi Jaya dan Yani bersama kameramen-nya menegaskan bahwa pelindungan terhadap kerja-kerja jurnalis masih sangat lemah. Agus Rakasiwi, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung dalam acara Diskusi “Perlindungan Kebebasan dalam Penyampaian Berita” di Ruang Auditorium Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja, Fakultas Hukum Unpad Jln Dipatiukur No.35 Bandung, Sabtu (25/09) menyatakan bahwa dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapatkan perlindungan hukum. Namun, Agus menyayangkan perlindungan pada pasal tersebut tidak dijabarkan dengan detail dan terperinci (www.unpad.ac.id pada 1 Maret 2011)
               Prof. Dr. Krisna Harahap Mantan, Pemimpin Redaksi HU Mandala yang juga Guru Besar STHB Bandung, dan Wina Armada Sukardi, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan. Menurut Prof. Krisna, Perjuangan kalangan pers untuk menjadikan UU pokok pers sebagai lex specialis sia-sia belaka karena perjuangan yang ketika itu dilakukan tak ubahnya seperti menegakkan benang basah. Selain itu Prof Krisna menyaran agar untuk meminimalisir kemungkinan adanya korban-korban dari vonis Hakim yang dijatuhkan tanpa memperhitungkan keberadaan UU Pers, kalangan pers harus mengawal pembentukan undang-undang. Pers harus terus meningkatkan kewaspadaan ketika menghadapi ranjau-ranjau hukum yang tersebar di dalam dan di luar KUHP Pidana serta Perdata.